Tana Toraja nan indah permai
Rencana liburan tahun ini yaitu ke Tana Toraja. Saya berangkat dari Makassar sore hari, dan perkiraan sampai Makale tak terlalu malam. Ternyata di jalan ada truk yang rusak pas di tengah jembatan, mengakibatkan jalan tak bisa dilalui. Kami akhirnya bisa memasuki kota Makale jam 22.00 WIT dan langsung ke hotel yang telah dipesan oleh teman di Makale. Hotel tempat kami menginap dibuat seperti kehidupan di Toraja, dengan rumah adatnya, yang menurut saya agak mirip dengan rumah adat Batak.
Setelah selesai sarapan, kami dijemput teman di Makale untuk melihat tempat pemakaman mayat. Keunikan adat di Tana Toraja, mirip dengan di Trunyan Bali, mayat - mayat tidak dikubur, tapi diletakkan begitu saja di celah - celah pegunungan. Sebelumnya mayat disimpan pada suatu tempat, bentuk tempatnya bermacam-macam, menunggu waktu pemakaman yang sesuai. Pemakaman mayat di Tana Toraja merupakan acara yang ditunggu-tunggu turis, dan memerlukan biaya mahal. Konon katanya, sang mayat bisa berjalan sendiri dan menaiki tangga di pegunungan untuk mencari rumah abadinya. Sayangnya saya belum mendapat kesempatan melihat acara ini.
Mayat diletakkan pada gunung, yang dibuat sekat - sekat dan terdapat jendela, yang umumnya diisi dengan boneka sehingga seolah-olah seperti orang yang melihat dari balik jendela rumah. Pada saat mayat dimakamkan, dibawakan barang - barang yang disukai selama hidupnya. Di dalam pemakaman juga terdapat payung berwarna warni . Kami makan siang di restoran di tepi sungai, ditemani oleholeh salah satu pegawai restoran. Menurutnya, jika tamunya muslim, harus ditemani saat mencari makan, karena makanan untuk muslim sangat terbatas di Tana Toraja. Selanjutnya, kami melihat pasar dikota Makale. Bentuk pasar tak berbeda jauh dengan pasar di kota - kota lain di Indonesia. Disini kami membeli cindera mata, berupa batik khas Tana Toraja.
Malam itu kami kembali menginap di hotel. Pinca Makale sudah mengingatkan, bahwa agar tidak mabuk dijalan, sebelum berangkat ke Makassar harus sarapan. Sarapan tidak boleh banyak tapi secukupnya saja, dan dalam perjalanan disarankan istirahat di Gunung Nona (gunung yang berbentuk seperti buah dada seorang nona) sambil minum kopi dan menikmati pemandangan. Selanjutnya kami disarankan berhenti lagi di Pare-pare untuk makan siang, sesudah itu perjalanan boleh diteruskan ke kota Makassar tanpa henti. Saran ini disebabkan teman saya mendengar, bahwa saat berangkat ke Makale saya mabuk berat, untungnya perjalanan malam, sehingga tak banyak yang bisa dilihat.
Di gunung Nona kami beristirahat, ke toilet dan menikmati secangkir kopi sambil melihat pemandangan yang indah permai. Restoran tempat kami makan siang berada di tepi pantai, sehingga kami bisa menikmati kapal laut yang berlalu lalang di pantai. Dari Pare-pare kami terus menuju kota Makassar, dan sampai dihotel menjelang Magrib. Selesai sholat Magrib kami berjalan-jalan sepanjang Jl. Somba Opu dengan naik becak. Jalan Somba Opu terkenal dengan toko emas, yang berbeda dengan emas di daerah lain, karena emas disini berwarna lebih kuning, berasal dari daerah Kendari. Saya membeli seperangkat perhiasan untuk kenang-kenangan.
Becak di Makassar sangat kecil, saya bersama teman nyaris nggak bisa masuk dalam satu becak, padahal sama-sama kurus. saya mencoba menjadi tukang becak, khusus untuk berpose disini.Malam ini kami tidur dengan nyenyak, karena besok pagi harus kembali ke Jakarta dengan penerbangan pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar