Minggu, 08 Juli 2012

Fenomena Deindustrialisasi di Indonesia

I. Pengertian Deindustrialisasi
Secara harfiah industrialisasi berarti usaha menggalakkan industri di suatu negara; pengindustrian. Industrialisasi merupakan proses yang sangat baik untuk membawa suatu bangsa menuju kemakmuran. Manfaat utama yang diperoleh dari industrialisasi adalah memperluas lapangan kerja, menambah devisa negara, dan memanfaatkan potensi sumber daya alam maupun sumberdaya manusia sehingga menggerakkan roda perekonomian suatu bangsa menjadi lebih cepat. Dengan industrialisasi, bangsa tersebut tak lagi terlalu menggantungkan hidupnya pada sumber alam yang langsung digali atau dimanfaatkan.

Fenomena akhr-akhir ini,membawa kabar buruk mengenai industrialisasi di Indonesia. Pertumbuhan industri manufaktur sejak krisis 1998 turun begitu drastis. Industri manufaktur nonmigas selama 1987-1996 mengalami pertumbuhan rata-rata 12% per tahunnya, lebih tinggi daripada pertumbuhan PDB. Antara tahun 2000-2008, industri manufaktur hanya tumbuh rata-rata 5,7% per tahun, sedikit lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan PDB (5,2%). Pada triwulan ketiga 2009 pertumbuhannya hanya 1,3 persen, tak sampai sepertiga pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 4,2 persen.

Jika industri manufaktur kian meningkat kontribusinya terhadap PDB (Produk Domestik Bruto), maka suatu negara bisa dikatakan mengalami industrialisasi. Dengan demikian, industrialisasi memiliki kinerja yang sangat konkret. Konsekuensinya, tak ada industrialisasi manakala industri manufaktur tak memiliki kontribusi secara signifikan terhadap PDB. Sebaliknya, jika ternyata kontribusi industri manufaktur terhadap PDB mengalami penurunan secara relatif dibandingkan sektor perekonomian yang lain, serta-merta industrialisasi memasuki fase titik balik. Ini berarti, perekonomian sebuah negara memasuki fase deindustrialisasi. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami deindustrialisasi.

II. Penyebab Deindustrialisasi
Ada beberapa faktor penyebab di balik deindustrialisasi di Indonesia. Pertama adalah rendahnya dukungan perbankan. Kredit perbankan ke sektor industri secara absolut memang tumbuh, tetapi persentasenya makin rendah. Tahun 2008, industri manufaktur hanya memperoleh 15% kredit perbankan. Salah satunya karena banyak industri dianggap bermasalah atau masuk kategori sunset industry.
 

Kedua, masih lemahnya dukungan universitas dan lembaga riset di negeri ini dalam membantu mengatasi masalah riil yang dihadapi oleh industri. Hal ini menyebabkan lambatnya transfer teknologi, penetrasi pasar ekspor, dan pengembangan produk maupun proses produksi. Indonesia sudah tertinggal dari Negara-negara lain dalam kemitraan dunia usaha dan universitas. Pengalaman di Jepang, sebagai ilustrasi, kemitraan ini amat mendukung pengembangan sistem inovasi nasional, universitas dan industri dapat bersama-sama mengelola ketidakpastian teknologi, dan juga memanfaatkan sistem kekayaan intelektual (Watanabe, 2009).

Ketiga, rendahnya daya saing produk dalam negeri. Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya daya saing. Pada industi pangan misalnya. Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan bahwa daya saing produk lemah karena mahalnya ongkos produksi yakni aspek energi, infrastruktur, dan regulasi yang memproteksi industri dalam negeri. Faktor utama lain yaitu tingginya penetrasi barang konsumsi impor, terutama yang berasal dari China. Hal ini diperparah dengan ditanda tanganinya perjanjian ACFTA, yang mengakibatkan semakin terpuruknya industri Indonesia, khususnya tekstil, karena kalah harga dan kualitas dengan produk China.

Keempat, stabilitas keamanan Indonesia yang masih terganggu. Isu utama keamanan di Indonesia adalah terorisme, yang dipicu oleh rangkaian peledakan bom di Indonesia seperti bom bali dan JW-Marriot. Isu terorisme ini menghambat tumbuhnya investasi di IndonesiaKetua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menilai banyak investor luar negeri yang memilih wait and see dan menunda setelah peristiwa pengeboman. Sejumlah sektor memang masih aman, namun sektor lain masih akan terkena dampak dari serangan bom.

Kelima stabilitas ekonomi. Krisis ekonomi global memang berdampak pada ketidakstabilan ekonomi dunia. Namun, banyak pengamat mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak tinggi diakibatkan krisis, hal ini masih dinilai stabil. Oleh karena itu, banyak uang panas dari Eropa yang diputar dan diinvestasikan di Indonesia dalam sektor finansial. Khawatirnya, jika uang panas ini diambil dalam waktu yang hampir bersamaan, akan menyebabkan ketidakstabilan perekonomian, terutama sektor finansial. Hal ini akan turut berdampak juga pada sektor riil, walaupun tidak signifikan.

III. Akibat Deindustrialisasi
Setelah kita mengurai bagaimana tentang indikator dan penyebab terjadinya deindustrialisasi, kini kita akan membahas mengenai akibat deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia. Dari beberapa sumber yang akan disebutkan kemudian, setidaknya dapat ditemukan empat akibat terjadinya deindustrialisasi. Pertama, semakin berpotensinya negara kita menjadi negara yang konsumtif. Hal ini nantinya dapat dibuktikan dengan neraca ekspor-impor dalam beberapa tahun belakangan ini. Kedua, meningkatkan ketergantungan kepada negara-negara pengekspor barang manufaktur. Ketiga, sulitnya melakukan reindustrialisasi. Keempat, tingkat penyerapan tenaga kerja menurun.

Melemahnya perindustrian Indonesia, ditambah dengan era perdagangan bebas yang sudah banyak diberlakukan sekarang tentunya membawa dampak pada semakin berpotensinya Indonesia menjadi negara konsumtif. Pasalnya, kebutuhan masyarakat terhadap suatu barang tentunya akan selalu ada, dan tarafnya akan selalu meningkat –dan harus ditingkatkan- dari waktu ke waktu. Itulah sebabnya jika kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh bangsa sendiri, akan menyebabkan negara ini menjadi negara yang akan membeli dari bangsa lain.
 

Gambar 1 Grafik Nilai Impor 2009 (Sumber: BPS)

Gambar 2 Grafik Nilai Impor 2010 (Sumber: BPS)

Dari dua grafik yang menunjukkan nilai impor di atas, kita dapat melihat bahwa kecenderungan yang ada dari dua tahun belakangan bahwa Indonesia semakin menjadi negara pengimpor. Pada akhir 2009, nilai impor Indonesia mencapai USD 10.299.947.949. Nilai ini sedikit menurun di awal 2010, yaitu sekitar USD 9.490.458.938. Namun, mulai naik kembali pada Maret 2010, hingga pada Juli, nilai impor telah mencapai sekitar USD 12.625.936.085. Tidak hanya itu, pada tahun 2008, neraca perdagangan Indonesia dan China mengalami lonjakan balik yang drastis, mengakibatkan terjadinya defisit bagi Indonesia sebesar USD 3,6 miliar. Padahal di tahun sebelumnya, Indonesia masih memiliki nilai surplus USD 1,1 miliar. Lebih mengejutkan lagi apabila kita melihat defisit perdagangan produk non migas Indonesia meroket dari USD 1,3 miliar di tahun 2007 menjadi USD 9,2 miliar di tahun 2008 (terjadi lonjakan sekitar 600%). Antara Januari hingga Oktober 2009, defisit serupa telah mencapai USD 3,9 miliar.

Menjadi negara konsumtif, yang juga menjadi negara pengimpor akan membawa dampak lain yang lebih berbahaya, yaitu ketergantungan kepada bangsa lain. Secara logika, melemahnya industri manufaktur Indonesia akan sejalan paralel dengan meningkatnya impor barang-barang produksi, jika memang kebutuhan-kebutuhan masyarakat tidak akan dikorbankan. Selama ini, kontribusi nilai dan berat ekspor Indonesia masih didominasi dari hasil industri primer, beberapa contohnya yaitu natural rubber, wood, plywood, chemical wood pulp, paper, paperboard, cotton yarn, fish, palm oil, coffee, cocoa beans, dan sebagainya.

Tingkat ketergantungan Indonesia kepada negara lain dapat kita lihat dari tingkat impor negara-negara manufaktur besar yang selama ini menjalin hubungan dengan Indonesia. Negara-negara manufaktur besar itu antara lain adalah China. Nilai impor dari China hingga Maret 2010 bernilai rata-rata USD 1.416.486.811 dan terus meningkat hingga menyentuh USD 1.982.162.360 pada Juli 2010. Sementara impor dari US, hingga pertengahan 2010 ini mencapai sekitar USD 800 juta. Nilai impor yang tinggi ini jauh di atas rata-rata impor negara lain yang hanya berkisar USD 66 juta.

Selanjutnya, deindustrialisasi juga dapat menyebabkan sulitnya reindustrialisasi. Reindustrialisasi atau menggairahkan kembali sektor industri bukanlah perkara mudah. Solusi koprehensif harus benar-benar diterapkan. Mulai dari solusi mikro berupa mempermudah investasi dan pemasaran, hingga langkah mikro berupa stabilisasi perekonomian.

Beberapa contoh industri yang mengalami deindustrialisasi adalah industri kertas dan barang cetakan, yang mengalami pertumbuhan minus sebesar 16,3%. Kemudian, tekstil, barang dari kulit, alat kaki, serta barang dari kayu dan hasil hutan yang tumbuh minus 10,3%, serta semen dan barang galian non-logam mengalami yang pertumbuhan minus 3,1%. Tekstil, terutama merupakan komoditi ekspor manufaktur yang cukup diandalkan di Indonesia. Dari segi jumlah yang diekspor, tekstil selalu menempati urutan 3 – 5 barang manufaktur. Tidak mudah untuk kembali melakukan pengembangan industri. Karena itu, butuh dukungan banyak pihak untuk membantu melakukan revitalisasi industri Indonesia.

Dampak terakhir, dan yang paling populis di masyarakat adalah terkait penyerapan tenaga kerja. Secara logika, penurunan jumlah industri, baik kecil maupun besar, membawa dampak pada menurunnya peluang kerja bagi masyarakat.

Industri manufaktur merupakan penyerap tenaga kerja formal terbesar. Deindustrialisasi mengakibatkan pekerja sektor formal semakin terdesak. Dalam beberapa tahun terakhir, persentase pekerja di industri manufaktur mengalami penurunan, dari 18,8 persen tahun 2005 menjadi 12,07 persen tahun 2009. Hal inilah yang menyebabkan daya serap tenaga kerja sektor formal merosot.Penguatan industri manufaktur sehingga bisa meningkatkan daya serap tenaga kerja di sektor formal diyakini juga akan mempercepat penurunan angka kemiskinan.

IV.  Solusi Mengurangi Deindustrialisasi
Biar bagaimanapun, deindustrialisasi tetap bisa kita kurangi dengan melakukan segenap langkah solusi. Solusi-solusi yang ada adalah usaha penghilangan sebab-sebab yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya. Tentunya, ketika berbicara solusi kita tidak akan dapat memisahkannya dengan peran. Peran yang dapat kita ambil sesuai kapasitas kita sebagai mahasiswa.

Deindustrialisasi dapat dikurangi dengan memperbaiki pemodalan. Perbaikan yang dilakukan bisa dilakukan melalui kemudahan syarat pengajuan kredit dari bank atau pengelontoran dana langsung dari pemerintah sebagai pinjaman lunak seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR). Terkait langkah yang bisa dilakukan mahasiswa adalah mendesak agar pemerintah mengeluarkan regulasi untuk memperbesar proporsi kredit perbankan untuk industri terhadap kredit secara keseluruhan. Saat ini, proporsi kredit untuk industri dari bank hanya mencapai sekitar 16 persen. Namun hal ini termasuk kecil dibandingkan pada tahun 1985 yang pencapai proporsi 40 persen. Pekerjaan yang harus dilakukan adalah bagaimana memperbesar proporsi modal untuk industri dari kalangan privat dan memperbaiki besaran dan aksesibilitas modal dari program pemerintah.

Langkah lainnya dalam menghadapi deindustrialisasi adalah menumbuhkan budaya riset. Riset adalah syarat mutlak untuk mengembangkan produk dan proses kerja agar tercipta hal yang lebih baik dalam hal penggunaan sumber daya dan keluaran yang diharapkan. Industri-industri padat modal dan teknologi adalah industri yang harus dikembangkan kedepannya, dan riset berperan penting untuk mengembangkannya. Dengan mengadopsi konsep Triple Helix, pemerintah seharusnya membangun pola koordinasi dan integrasi yang baik dari pihak universitas dengan pihak industri. Hal ini dilakukan agar kebutuhan riset perlahan-lahan dapat tersosialisasikan dan pada akhirnya dapat berkembang.

Langkah selanjutnya adalah dengan gencar melakukan kampanye cinta produk dalam negeri. Sebuah budaya yang sudah mengakar harus dilawan dengan pengopinian yang baik. Budaya tersebut adalah lebih memandang sesuatu dari kemasannya. Sehingga, kemasan bermerk luar negeri seringkali menjadi pilihan utama. Sudah saatnya kita menghargai dan bahkan mengalihkan preferensi kita untuk memilih dalam negeri. Walaupun secara kualitas tidak sama, namun perbedaannya tidak terlalu jauh.

Jika produk dalam negeri akan merajai di bangsanya sendiri, akan juga menambah kepercayaan diri masyarakat untuk terus mengembangkan wirausaha. Bangsa ini masih membutuhkan banyak pengusaha. Banyaknya pengusaha akan membuat sektor industri kembali bergairah. Selain itu, pemerintah juga harus menjalankan program pendidikan wirausaha yang telah direncanakannya dengan baik. Terakhir, yang harus dilakukan pemerintah adalah menjaga stabilitas kemanan dan perekonomian dalam negeri. Hal ini untuk menghindari kepanikan masyarakat, berkembangnya para spekulan-spekulan yang tidak bertanggungjawab, dan isu-isu lainnya. Juga terhadap daya serap produk itu sendiri di pasar.

Sumber : http://km.itb.ac.id/site/?p=496